1 Mei 2013 jatuh di Rabu. Hari Kerja. 1 Mei merupakan hari besar yang diperingati di negara manapun. Serikat buruh telah bersiap diri menyambut hari tersebut dengan berbagai cara. Tuntutan 1 Mei kali ini tidak akan berbeda dengan tahun sebelumnya. Pemerintah mengingatkan agar perayaan Hari Buruh dilakukan dengan damai.
Soeharto dan May Day
1 Mei ditetapkan sebagai Hari Buruh Sedunia atau Labour Day atau International Workers Day pada 1889 di Paris. Untuk mengingat perjuangan panjang mendapat pengakuan 8 jam kerja atau 40 jam seminggu. Pada 1-4 Mei 1986 di Amerika Serikat, para aktivis melaksanakan mogok dan ratusan aktivis tewas di ujung bedil. Di Asia, diperkirakan 26 negara dipastikan akan memeringatinya.
Di Indonesia Hari Buruh Internasional disebut dengan May Day. Entah kapan istilahMay Day merangsek dalam kosa kata perburuhan. Barangkali berkaitan dengan banyaknya peristiwa di bulan Mei. Setelah Hari Buruh di 1 Mei, ada Hari Pendidikan Nasional (2 Mei), Hari Kebebasan Pers Sedunia (3 Mei), Tragedi Trisakti (12 Mei), Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei), dan Hari Reformasi (21 Mei).
Jauh sebelum Indonesia merdeka, pada 1918, buruh di Surabaya telah memeringati Hari Buruh (Hartono, 2011). Para buruh menuntut perbaikan kesejahteraan dan kebebasan berkumpul. Sumber masalah perburuhan di masa itu adalah kebijakan Koeli Kontrak dan Poenali Sanctie, yang mirip praktik perbudakan (Said, 1990, Breman, 1997; Shadily dan Pringgodigdo, 1973). Mogok masal maupun individual serta rapat umum lumrah dilakukan agar terjadi perubahan kebijakan.
Di zaman Kemerdekaan, 1 Mei diperingati oleh berbagai lapisan masyarakat. Misalnya, pada 1947 masyarakat Yogyakarta memeringatinya dengan pawai massa, sementara di Kutaraja Aceh diisi dengan olahraga dan rapat umum (Toer, 2001). Pada 1948, melalui Undang-Undang Nomor 12, 1 Mei dinyatakan sebagai hari libur nasional dan dirayakan dengan meriah (Suryomenggolo, 2009). Di hari tersebut Presiden Soekarno kerap tampil dan berpidato di hadapan massa buruh.
Di bawah kepemimpinan Soeharto peringatan Hari Buruh dilarang. Melalui Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1991, Soeharto menetapkan 20 Februari sebagai Hari Pekerja Nasional dan bukan hari libur. Penghapusan peringatan Hari Buruh dimulai setahun setelah Awaloedin Djamin diangkat menjadi Menteri Tenaga Kerja pada 1966 (Adam, 2009; Shadily dan Pringgodigdo, 1973).
Setidaknya, ada dua alasan pelarangan Hari Buruh. Pertama, pemogokan atau aksi protes jalanan bukan budaya Timur dan bukan bagian dari hubungan industrial pancasila (HIP). HIP dalam tafsiran Soeharto didasarkan pada paradigma harmoni yang mengedepankan perundingan di atas meja. Kedua, 1 Mei tidak layak diperingati karena berasal dari Barat, bahkan dikategorikan sebagai ideologi komunis. Kecuali atas pertimbangan keuntungan ekonomi dan politik, keyakinan tersebut sulit dilacak akar historisnya.
Tuntutan Buruh
Setelah pengunduran diri Soeharto pada 21 Mei, May Day diperingati dengan marak. Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) mencatat, dalam tiga tahun terakhir 1 Mei diperingati di Aceh hingga Papua. Turut dalam peringatan tersebut adalah kalangan mahasiswa, organisasi perempuan, dan organisasi tani. Dibanding periode 2006 ke bawah tampak terjadi pertambahan tuntutan buruh. Serikat buruh tidak hanya memrotes buruknya kesejahteraan dan kebebasan berserikat, juga keamanan dan kepastian kerja serta jaminan sosial. Muncul pula tuntutan agar 1 Mei dijadikan hari libur nasional. Pengukuhan kebijakan pasar tenaga kerja fleksibel dan lemahnya penegakkan hukum merupakan biang kerok pertambahan tuntutan.
Hubungan kerja kontrak dan outsourcing telah mengikis kepastian kerja dan pendapatan. Buruh kontrak dan outsourcing dapat mengalami pemutusan kontrak tiba-tiba dan mendapatkan upah 75 persen dari buruh tetap (Akatiga, 2010). Jumlah buruh kontrak danoutsourcing setiap bulannya terus meningkat di perusahaan perusahaan manufaktur milik swasta, industri perbankan, industri media, badan usaha milik negara, dan badan pemerintah (Dinamika Perburuhan, 2012). Ironisnya, hampir seluruh perekrutan buruh kontrak dan outsourcingdilakukan dengan mengurangi buruh tetap (Arifin, 2011).
Memang setiap tahun upah minimum mengalami kenaikan. Namun kenaikannya diperhadapkan dengan ancaman penangguhan dan lonjakan kenaikan harga. Rata-rata pengeluaran buruh dihabiskan untuk membiaya sewa kontrakan dan transportasi. Serta, biaya pendidikan untuk buruh yang telah berkeluarga. Mestinya, ada kebijakan jaminan sosial agar dapat mengurangi beban pengeluaran buruh.
Sehari saja
Hari Buruh kembali diperingati pada 1995 di Jakarta dan Semarang. Kala itu, kalangan buruh menuntut kebebasan berserikat, pencabutan dwi fungsi ABRI, dan kenaikan upah minimum dari Rp3200 per hari menjadi Rp7.000. Aksi tersebut berakhir dengan penangkapan empat orang aktivis buruh di Jakarta (Wanhar, 2011).
Di tahun ini serikat buruh telah bersiap menyambut May Day. Di media massa, pihak kepolisian menyatakan akan menurunkan sejumlah personel untuk mengamankan jalannya aksi; memastikan tidak ada sweeping dan penutupan jalan tol serta menghimbau satuan pengamanan (Satpam) tidak terlibat May Day. Beberapa pejabat di daerah ‘membujuk’ agar peringatan May Day diisi dengan kegiatan karitatif seperti menanam pohon dan gerak jalan.
Memandang May Day dan aksi protes dengan penuh kecurigaan sama sekali tidak berdasar. Pertama, selama tiga tahun terakhir peringatan May Day hanya diisi dengan pawai umum dan rapat akbar. Kedua, selama 2012 memang terjadi peningkatan aksi protes di beberapa kawasan industri, seperti di Bekasi dan Tangerang. Namun, seluruh aksi protes tersebut memiliki konteks khusus, yakni pelanggaran hak dasar buruh, seperti upah yang tidak dibayar dan pemekerjaan buruh kontrak di bagian inti produksi (Dinamika Perburuhan, 2012). Protes terhadap gugatan upah minimum di Bekasi dengan menutup jalan tol pada 2011 dan mogok nasional pada 3 Oktober 2012 menyentakkan kesadaran kita bahwa mesin-mesin yang canggih dan modern tidak berguna jika buruh mogok. Triliunan rupiah hilang, karena para buruh tidak bersedia mencetaknya.
Ketiga, protes jalanan merupakan satu-satunya harapan, ketika semua lembaga yang tersedia tidak efektif melindungi hak dasar buruh. Sebenarnya, untuk keluar dari tempat kerja di hari kerja tidak mudah, apalagi bagi buruh yang tidak berorganisasi. Surat dispensasi untuk mengikuti kegiatan organisasi, seperti demonstrasi bahkan pendidikan, seringkali diperhadapkan dengan ancaman pemecatan. Di perusahaan yang menggunakan sistem target, seperti industri garmen dan sepatu, mengikuti kegiatan di luar tempat kerja berarti bertambahnya beban kerja atau pengurangan upah. Atas dasar kesulitan mendapatkan izinlah biasanya serikat buruh memutuskan untuk mengajak buruh di pabrik lain.
Penghalangan untuk mengikuti kegiatan serikat atau dikenai sanksi setelah mengikuti kegiatan organisasi merupakan pelanggaran terhadap prinsip kebebasan berserikat dan berunding. Supaya tidak terjadi aksi sweeping, memboroskan anggaran untuk pengamanan yang tidak perlu, dan dituduh membela pengusaha, bisa saja pemerintah mempermudah izin kepada kalangan buruh. Jika berkehendak, buruh di Jabodetabek akan memusatkan kegiatannya di Istana Negara, inilah saatnya para penyelenggara negara bertatap muka dengan kalangan buruh. Tidak cukup memantau aksi protes dari dalam kantor, seperti dilakukan tahun lalu oleh Presiden SBY. Selamat May Day!
ditulis oleh Syarif Arifin
No comments