Marsinah |
Anak-anak yang lagi bermain itu melihat kaki yang menjulur pada sebuah gubuk. Setelah berkali-kali dilempari dan tak ada reaksi, mereka pun mendekat. Anak-anak itu terkejut, mereka mendapati bahwa kaki yang menjulur itu adalah kaki seorang perempuan, kaki Marsinah.
Mayat Marsinah tergeletak dalam posisi terlentang. Sekujur tubuhnya penuh dengan luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangan tangannya lecet-lecet, diduga akibat diseret dengan tangan terikat. Tulang panggulnya hancur karena pukulan benda keras berkali-kali. Dari sela-sela pahanya ada bercak-bercak darah, diduga akibat penganiayaan dengan benda tumpul. Pada bagian yang sama menempel kain putih berlumuran darah.
Secarik potongan resi wesel menjadi petunjuk awal bagi aparat kepolisian untuk menelusuri kejelasan identitas mayat tersebut. Ia adalah Marsinah, seorang buruh pabrik yang berani melakukan aksi mogok. Tapi apakah darah dan bekas-bekas luka penganiayaan biadab terhadap Marsinah cukup memberi petunjuk siapa pelaku pembunuhan? Adakah tokoh di 'balik layar' yang mendalangi pembunuhan keji terhadap Marsinah?
Pengetahuan Mengubah Nasib
Marsinah lahir tanggal 10 April 1969. Anak nomor dua dari tiga bersaudara ini merupakan anak seorang buruh tani yang bernama Mastin dan Sumini. Sejak usia tiga tahun, Marsinah telah ditinggal mati oleh ibunya. Sejak bayi, Marsinah hanya diasuh oleh neneknya Pu’irah bersama bibinya Sini di desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur.
Marsinah mengeyam pendidikan dasar di SD Karangasem 189, Kecamatan Gondang. Pendidikan menengahnya di SMPN 5 Nganjuk. Sejak kecil, gadis berkulit sawo matang itu sudah mandiri. Dia sadar nenek dan bibinya kesulitan mencari kebutuhan sehari-hari, ia berusaha memanfaatkan waktu luang untuk mencari penghasilan dengan berjualan makanan kecil.
Di lingkungan keluarganya, ia dikenal sebagai anak yang rajin. Jika tidak ada kegiatan sekolah, ia membantu bibinya memasak di dapur. Seperti anak perempuan lainnya di desa, sepulang sekolah, ia mengantar makanan untuk pamannya di sawah.
“Dia sering mengirim bontotan ke sawah untuk saya. Kalau panas atau hujan, biasanya anak itu memakai payung dari pelepah pisang,” kenang Suradji, pamannya Marsinah sambil menerawang.
Berbeda dengan teman sebayanya yang banyak menghabiskan waktu dengan bermain, ia mengisi waktu dengan kegiatan belajar dan membaca. Kalaupun keluar, paling-paling dia hanya pergi untuk menyaksikan berita di televisi.
Marsinah itu juara kelas, Saat sekolah menengah atas, Marsinah kost di kota Nganjuk. Murid SMA Muhammadiyah ini dikenal sebagai siswa yang cerdas. Semangat belajarnya tinggi dan terus mengukir SMA, ketiadaan biaya membuatnya hanya bermimpi melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi.
“Dia ingin sekolah di IKIP. Tapi, uang siapa untuk membiayai di perguruan tinggi itu,” ujar kakek Marsinah.
Pilihan pahit untuk bermigrasi keluar dari desa adalah pilihan yang dikondisikan rezim diktator Soeharto. Sebenarnya Marsinah tidak punya pilihan jawaban. Ujungnya adalah tidak ada pilihan lagi selain pergi ke kota. Maka ia berusaha mengirimkan sejumnlah lamaran ke berbagai perusahaan di Surabaya, Mojokerto, dan gresik. Akhirnya ia diterima di pabrik sepatu BATA di Surabaya tahun 1989. setahun kemudian ia pindah ke pabrik arloji Empat Putra Surya di Rungkut Industri, sebelum akhirnya ia pindah mengikuti perusahaan tersebut yang membuka cabang di Siring, Porong, Sidoarjo. Marsinah adalah generasi pertama dari keluarganya yang menjadi buruh pabrik.
Kegagalan meneruskan ke perguruan tinggi bukannya membuat semangat belajarnya padam. “Mbak Marsinah berkeyakinan bahwa pengetahuan itu mampu mengubah nasib seseorang,” ujar salah seorang temannya. Karena itu, untuk menambah pengetahuan dan keterampilan, Marsinah mengikuti kursus komputer dan bahasa Inggris di Dian Institut, Sidoarjo. Kursus komputer dengan paket Lotus dan Word Processor sempat dirampungkan beberapa waktu sebelum ia dibungkam. Semangat belajar yang tinggi juga tampak dari kebiasaannya menghimpun rupa-rupa informasi. Ia suka mendengarkan warta berita, baik lewat radio maupun televisi. Minat bacanya juga tinggi. Saking senangnya membaca, ia terpaksa memakai kacamata. Pada waktu-waktu luang, ia seringkali membuat kliping koran. Malahan untuk kegiatan yang satu ini ia bersedia menyisihkan sebagian penghasilannya untukmembeli koran dan majalah bekas, meskipun sebenarnya penghasilannya pas-pasan untuk menutup biaya hidup.
Marsinah itu perempuan yang pendiam, tapi ramah, supel, tingan tangan dan setia kawan. Ia menjadi tempat pengaduan kawan-kawannya, Kawan yang sakit, selalu dia jenguk. Membantu kawan-kawannya yang diperlakukan tidak adil adalah prioritas hidupnya. Dan yang paling hebat adalah, Marsinah adalah seorang buruh pemberani.
Karena Pemberani dan setia kawan inilah yang membuatnya menjadi pelopor perjuangan. Dimulai pertengahan April 1993, para buruh PT. CPS (Catur Putra Surya), pabrik tempat Marsinah bekerja resah. Padahal penyebabnya adalah kabar baik tentang kenaikan upah berdasarkan Surat Edaran Gubernur Jawa Timur. Surat himbauan untuk menaikkan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok itu membuat para pengusaha berang takut kehilangan keuntungan besarnya. Pada minggu-minggu tersebut, Pengurus PUK-SPSI PT. CPS mengadakan pertemuan di setiap bagian untuk membicarakan kenaikan upah sesuai dengan himbauan dalam Surat Edaran Gubernur tersebut.
Kesadaran atas upah rendah buruh ini adalah awal perjuangan. Pada tanggal 3 Mei 1993 seluruh buruh PT. CPS berani tidak masuk kerja alias mogok, kecuali staf dan para Kepala Bagian. Marsinah bersama kawan-kawannya dengan gagah berani melakukan aksi mogok kerja. Marsinah mendapat tugas pergi ke kantor Depnaker Surabaya untuk mencari data tentang daftar upah minimum regional. Data ini Marsinah perlihatkan kepada pengusaha sebagai penguat tuntutan buruh yang mogok.
Tanggal 4 Mei 1993 pukul 07.00 Marsinah bersama kawan-kawannya buruh PT. CPS melakukan unjuk rasa dengan mengajukan 12 tuntutan. Seluruh buruh dari ketiga shift serentak masuk pagi dan mereka bersama-sama memaksa untuk diperbolehkan masuk ke dalam pabrik. Satpam yang menjaga pabrik menghalang-halangi para buruh shift II dan shift III. Tidak ketinggalan, para satpam juga mengibas-ibaskan tongkat pemukul serta merobek poster dan spanduk para buruh sambil menuding buruh yang mogok sebagai PKI.
Bangkitnya Keberanian
Suasana kota yang penuh dengan penindasan membuat banyak buruh harus hidup dalam tekanan persaingan yang keras. Kehidupan buruh-buruh di pabrik terus dikejar-kejar target produksi yang telah ditetapkan sepihak oleh pemodal. Marsinah, gadis pemberani sang pelopor itu tidak canggung berdiri di barisan terdepan pengunjuk rasa. Keberanian yang membuatnya melawan atas 'takdir' nasibnya.
Suasana perlawanan yang terus meluas atas aksi pemogokan di berbagai kota industri menjadi bukti ketidakpuasan buruh. Pabrik, gedung Dewan Perwakilan Rakyat, instansi-instansi pemerintah yang berurusan dengan masalah perburuhan, dan jalanan-jalanan kota menjadi panggung yang mementaskan keresahan buruh yang tak kunjung terhenti. Menurut berita, di Jawa Timur tercatat 155 pemogokan yang semuanya dihadapi tentara. Buruh diperhadapkan dengan moncong senjata militer, anjing penjaga sang pemodal.
Aparat dari koramil dan kepolisian sudah berjaga-jaga di perusahaan sebelum aksi berlangsung. “Ya sudah, kalau teman-teman tidak diperbolehkan masuk, keamanan saya serahkan kepada bapak, kami sekarang hendak berunding dengan pengusaha!”, ucapnya pada salah seorang tentara yang tahunya cuma perintah komandan.
Perundingan berjalan dengan hangat. Dalam perundingan tersebut, sebagaimana dituturkan kawan-kawannya. Marsinah tampak bersemangat menyuarakan tuntutan. Dialah satu-satunya perwakilan dari buruh yang tidak mau mengurangi tuntutan. Khususnya tentang tunjangan tetap yang belum dibayarkan pengusaha dan upah minimum sebesar Rp. 2.250,- per hari sesuai dengan kepmen 50/1992 tentang Upah Minimum Regional. Setelah perundingan yang melelahkan tercapailah kesepakatan bersama.
Berakhirkah pertentangan antara buruh dengan pengusaha? Militer, sang anjing penjaga modal mulai digunakan. Tanggal 5 Mei 1993, 13 buruh dipanggil kodim Sidoarjo. Pemanggilan itu sendiri dibuat lewat surat dari kelurahan Siring. Tanpa babibu, tentara mengancam ke-13 buruh itu menandatangani surat PHK. Para buruh terpaksa menerima PHK karena tekanan fisik dan psikologis yang bertubi-tubi. Dua hari kemudian menyusul 8 buruh di-PHK di tempat yang sama. Militer dan pengusaha telah menjadikan Hukum menjadi senapan. Tentara digunakan untuk menghancurkan keberanian perlawanan buruh yang mogok kerja.
Marsinah, buruh yang berani dan cerdas itu paham betul atas resiko yang dihadapi perjuangan buruh. Dari kliping-kliping surat kabar yang diguntingnya, dari keluhan-keluhan kawan-kawannya se pabrik, dari kemarahan-kemarahan yang terus meneriakkan protes, dan dari apa yang ia lihat dengan mata kepala sendiri, semuanya memberinya pengetahuan tentang penghisapan terhadap kaumnya, kelas buruh dan rakyat tertindas lainnya.
Kemarahannya semakin meledak ketika tahu tentang perlakuan tentara kepada kawan-kawannya.
“Saya tidak terima! Saya mau lapor ke paklik saya yang jadi jaksa di Surabaya,” teriak Marsinah gusar. Dengan gundah ia raih surat panggilan kodim milik salah seorang kawannya, lantas pergi.
Kemana perginya Marsinah? Tidak ada yang tahu. Yang pasti, Marsinah tidak lagi terlihat di pabrik tempat ia bekerja.
Awal Kebangkitan
Marsinah telah mati. Mayatnya ditemukan di gubuk petani dekat hutang Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Ia yang tidak lagi bernyawa ditemukan tergeletak dalam posisi melintang. Sekujur tubuhnya penuh luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangannya lecet-lecet, mungkin karena diseret dalam keadaan terikat. Tulang panggulnya hancur karena pukulan benda keras berkali-kali. Di sela-sela pahanya ada bercak-bercak darah, diduga karena penganiayaan dengan benda tumpul. Pada bagian yang sama menempel kain putih yang berlumuran darah. Mayatnya ditemukan dalam keadaan lemas, mengenaskan.
Marsinah adalah sosok perjuangan yang telah dihancurkan oleh sebuah ketakutan dan kecurigaan. Tapi kita tidak bisa mengingkari bahwa jiwanya tidak bisa dipenjara. Jiwanya akan membumbung tinggi untuk berubah menjadi bunga-bunga api yang akan menghanguskan segala bentuk ketidakadilan.
Anak-anak desa yang menemukan Marsinah, dan kita, menjadi saksi. Sekarang atau esok, anak-anak itu dan kita akan terus bersaksi dan bercerita tentang ketidakadilan, tentang gugurnya seorang buruh pejuang, tentang buruh perempuan yang tidak ragu untuk kehilangan nyawanya demi keyakinannya tentang kebenaran.
Tragedi Kasus Marsinah
Marsinah hanyalah seorang buruh pabrik dan aktivis buruh yang bekerja pada PT Catur Putra Surya (CPS) di Porong Sidoarjo, Jawa Timur. Ia ditemukan tewas terbunuh pada tanggal 8 Mei 1993 diusia 24 tahun. Otopsi dari RSUD Nganjuk dan RSUD Dr Soetomo Surabaya menyimpulkan bahwa Marsinah tewas kerena penganiayaan berat.
Marsinah adalah salah seorang dari 15 orang perwakilan para buruh yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan. Awal dari kasus pemogokan dan unjuk rasa para buruh karyawan CPS bermula dari surat edaran Gubernur Jawa Timur No.50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok.
Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh buruh, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran produksi perusahaan.
Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa dari tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp 1700 menjadi Rp 2250.
Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.
Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993. Pada tanggal 30 September 1993 dibentuk tim Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah.
Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang
ditangkap.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah. Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI.
Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, bagian kontrol CPS menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan mobil Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan anak buahnya yang lain dihukum antar empat hingga 12 tahun. Pengusaha itu naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto akhirnya dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni).
Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa". Kasus ini sering disebut sebagai kasus 1713.
Hingga saat ini, setelah 21 tahun, kasus Marsinah masih tetap menjadi misteri dan menjadi sejarah tragis dari penghisapan buruh di Indonesia.
Ditulis ulang berdasarkan beberapa sumber
No comments