SEKBER BURUH, Jakarta - Sekretariat Bersama Buruh menyerukan untuk melawan rencana busuk pemerintah yang ingin menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Rakyat tak lagi mudah dibohongi.
Kata Alank, Koordinator Sekber Buruh, rakyat mesti melakukan perlawanan segigih mungkin menolak rencana penaikan harga BBM itu.
Sekber Buruh bersama dengan organisasi massa lainnya berdemonstrasi di depan Gedung MPR/DPR, Senin (17/6) untuk menyampaikan penolakan mereka terhadap rencana penaikan harga BBM.
Sekber Buruh terdiri atas beberapa organisasi buruh seperti SBTPI, FBLP, F-Progresip, SPCI, KASBI Jakarta, FPBI, GSPB, Fronjak, SBMI, SMI, Pembebasan, Perempuan Mahardhika, PPR, Politik Rakyat, KPO-PRP, PMKRI, LMND, PMII, Walhi dan Geram.
Alank mengatakan, setiap warga mesti sadar kebijakan tersebut akan merugikan untuk jangka panjang. Itu sebabnya, kebijakan tersebut mesti dilawan. Tak mesti ke DPR, tapi bisa di mana saja. Misalnya dengan aksi menyoret dinding atau spanduk penolakan BBM.
"Bagi sopir angkot, metromini, taksi, TransJakarta, bus dan jasa angkutan lainnya agar berhenti beroperasi," kata Rosid yang merupakan rekan Alank.
Rosid menyarankan kepada warga pengguna sepeda motor, perlawanan bisa juga dilakukan dengan memasang pita hitam di motornya sebagai bentuk penolakan.
Pun demikian dengan pedagang kecil juga bisa melawan dengan berdagang secara terus menerus di "Gedung Rakyat".
"Jika harga BBM tetap naik maka tidak ada jalan lain, kami akan lanjutkan dengan mogok umum rakyat Indonesia dan memboikot bayar pajak untuk negara," kata Rosid.
Pemerintah berencana menaikkan harga BBM premium sebesar Rp 6.500 dari semula Rp 4.500. Dan solar Rp 5.500 dari sebelumnya Rp 4.500 per liter. Untuk mengantisipasi penaikan harga itu pemerintan membuat program bantuan langsung sementara masyarakat selama 5 bulan.
Alasan pemerintah menaikkan harga karena subsidi BBM dianggap membebani APBN. Sementara subsidi tersebut dianggap lebih banyak dinikmati orang-orang bermobil. Sehingga subsidi dinilai tidak tepat sasaran dan tidak adil. Kesenjangan harga juga menurut pemerintah memicu terjadinya penyelewengan distribusi BBM bersubsidi.
Kata Alank, Koordinator Sekber Buruh, rakyat mesti melakukan perlawanan segigih mungkin menolak rencana penaikan harga BBM itu.
Sekber Buruh bersama dengan organisasi massa lainnya berdemonstrasi di depan Gedung MPR/DPR, Senin (17/6) untuk menyampaikan penolakan mereka terhadap rencana penaikan harga BBM.
Sekber Buruh terdiri atas beberapa organisasi buruh seperti SBTPI, FBLP, F-Progresip, SPCI, KASBI Jakarta, FPBI, GSPB, Fronjak, SBMI, SMI, Pembebasan, Perempuan Mahardhika, PPR, Politik Rakyat, KPO-PRP, PMKRI, LMND, PMII, Walhi dan Geram.
Alank mengatakan, setiap warga mesti sadar kebijakan tersebut akan merugikan untuk jangka panjang. Itu sebabnya, kebijakan tersebut mesti dilawan. Tak mesti ke DPR, tapi bisa di mana saja. Misalnya dengan aksi menyoret dinding atau spanduk penolakan BBM.
"Bagi sopir angkot, metromini, taksi, TransJakarta, bus dan jasa angkutan lainnya agar berhenti beroperasi," kata Rosid yang merupakan rekan Alank.
Rosid menyarankan kepada warga pengguna sepeda motor, perlawanan bisa juga dilakukan dengan memasang pita hitam di motornya sebagai bentuk penolakan.
Pun demikian dengan pedagang kecil juga bisa melawan dengan berdagang secara terus menerus di "Gedung Rakyat".
"Jika harga BBM tetap naik maka tidak ada jalan lain, kami akan lanjutkan dengan mogok umum rakyat Indonesia dan memboikot bayar pajak untuk negara," kata Rosid.
Pemerintah berencana menaikkan harga BBM premium sebesar Rp 6.500 dari semula Rp 4.500. Dan solar Rp 5.500 dari sebelumnya Rp 4.500 per liter. Untuk mengantisipasi penaikan harga itu pemerintan membuat program bantuan langsung sementara masyarakat selama 5 bulan.
Alasan pemerintah menaikkan harga karena subsidi BBM dianggap membebani APBN. Sementara subsidi tersebut dianggap lebih banyak dinikmati orang-orang bermobil. Sehingga subsidi dinilai tidak tepat sasaran dan tidak adil. Kesenjangan harga juga menurut pemerintah memicu terjadinya penyelewengan distribusi BBM bersubsidi.
No comments