Pak Beye, tanggal 5 September 2013 kemarin saya ikut dalam aksi buruh ke Istana Negara. Memang tidak sendirian, saya datang bersama-sama dengan lebih dari 30 ribu buruh Indonesia. Saya dengar ketika kami melakukan aksi, Anda sedang tidak berada di Indonesia. Tidak apa-apa, saya tidak kecewa Anda tidak bisa menemui kami. Karena toh saya percaya, diera keterbukaan informasi seperti sekarang ini, Anda tetap bisa mendengar aspirasi yang kami suarakan.
Tuntutan kami sederhana, Pak. Hanya tiga. Tidak banyak: Naikkan upah buruh 50 persen, jalankan jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat per 1 Januari 2014, dan hapuskan outsourcing di perusahaan-perusahaan BUMN.
* * *
Jika harus jujur, saya kecewa dengan Anda, Pak. Kecewa yang teramat sangat. Karena saya adalah salah satu orang yang memilih Anda menjadi presiden, yang menaruh harapan besar kepada Anda untuk bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat di negeri yang dahulu dijuluki zamrud di khatulistiwa ini. Tetapi apa yang terjadi? Harapan saya itu jauh panggang dari api. Anda justru menerbitkan Inpres untuk mendukung berlakunya upah murah.
Oleh karena itu, dalam Pemilu 2014 nanti saya dan kawan-kawan sudah sepakat tidak akan memilih Anda. Kami bahkan sudah menyiapkan dari kawan-kawan kami sendiri yang sudah terbukti integritas dan keberpihakannya kepada kaum buruh untuk kami pilih. Anda tahu alasannya, Pak? Agar kebijakan Negara tidak terus-terusan menganggap kaum buruh hanya dengan sebelah mata.
Tidak usah mengelak, Inpres itu terbit karena tekanan dari Apindo kan, Pak?
Masih terekam jelas ketika Menko Perekonomian Hatta Rajasa dan Memperin menggelar konferensi pers untuk mengumumkan rencana penerbitan Inpres itu. Oh ya, ada satu lagi, saya tidak salah lihat dengan orang ini. Ketua Apindo Sofyan Wanandi yang ikut serta dalam konferensi pers yang disiarkan secara nasional oleh sebuah stasiun televisi itu.
Saya kira itu adalah hari paling buruk bagi buruh Indonesia, Pak. Tak terbantahkan, sudah. Negara berada dibawah ketiak kaum modal. Negara didikte oleh mereka. Karena pada kenyataannya, tidak ada satu pun wakil dari buruh yang diajak ikut dalam konferensi pers, padahal isi dari konferensi pers itu menyangkut hak yang paling hakiki dari buruh: upah.
* * *
Pak Beye,
Saya pernah membaca sebuah berita. Konon katanya, total kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia tahun 2013 mencapai Rp. 1,100 Trilyun. Sementara jika kita bandingkan dengan pendapatan Negara tahun 2013 yang dipekirakan sebesar 1.502 trilyun, maka itu artinya, kekayaan 40 orang ini lebih dari 70% dari total pendapatan negara.
Sekarang saya paham data itu artinya apa. Apakah karena mereka kaya, sehingga bisa mengendalikan Negara? Sedangkan kami yang miskin, tetap dimiskinkan agar dominasi mereka tetap terjaga? Bukankah setiap warga Negara memiliki hak yang sama di Republik ini. Bahkan, darah kami sama merahnya, Pak. Lalu mengapa mereka yang lebih diutamakan dan didengar suaranya?
Saya juga membaca data dari Independent Parliamentary Standarts Authority (IPSA) dan IMF. Jika dibandingkan, jumlah gaji dalam setahun dibagi pendapatan per kapita penduduk, maka besarnya gaji anggota DPR adalah 18 kali pendapatan per kapita penduduk. Dengan demikian, besarnya gaji DPR kita adalah terbesar nomor empat sejagat.
Data yang dihimpun dari sumber pemerintah, media dan dana moneter internasional (IMF) itu, menyebutkan gaji Anda mencapai USD 124.171 atau sekitar Rp. 1.1 miliar per tahun. Artinya, gaji Anda mencapai 30 kali lipat dari pendapatan per kapita penduduk, dan itu adalah terbesar nomor 3 sedunia. Data itu beberapa tahun yang lalu. Sekarang, bahkan saya dengar, gaji Anda sudah naik persen.
Saya ikut bangga, jika Indonesia mampu membayar gaji aparatur Negara dengan sedemikian hebatnya. Jangan khawatir, pak. Saya nggak akan minta. Itu sudah menjadi hak Anda. Satu saja yang masih tidak bisa saya terima: Mengapa Anda tega membatasi kenaikan gaji buruh hanya dikisaran inflansi?
Apakah adil, jika Anda bergaji nomor 3 terbesar didunia, sementara gaji buruh Indonesia tidak lebih besar dari Philipina (3.255.076), atau Thailand (2.818.409)? Bapak tahu, kan, di DKI Jakarta saja, gaji kami hanya di angka Rp. 2.200.000,-. Itu di Jakarta, Pak. Bagaimana dengan kawan-kawan kami yang berada diluar sana? Mereka hanya mendapatkan upah dikisaran 1 juta, bahkan banyak yang dibawahnya!
Sementara saya juga mempunyai data, pendapatan bos-bos perusahaan asing yang beroperasi di negeri ini bahkan mencapai ratusan juta. Saya nggak pernah mimpi memiliki uang sebanyak itu, Pak, yang katanya nolnya banyak, baris seperti tentara. Saya hanya minta keadilan, karena apa yang telah mereka dapatkan ada keringat kami disitu.
Pak, mengapa jika Pengusaha yang meminta, dengan gampangnya Anda memberikan persetujuan. Sedangkan jika kami, kaum buruh yang meminta, selalu dibuat stigma: tidak tahu diri, mengganggu iklim investasi, dan sebagainya.
Saya tahu, bukan Anda yang membuat stigma itu. Tetapi jika Anda tidak responsif dengan mengeluarkan Inpres itu, setidaknya situasi seperti ini tidak akan pernah terjadi.
* * *
Pak Beye,
Jika kami masih bisa hidup sampai hari ini, itu karena kami tidak hidup selayaknya manusia yang memiliki pekerjaan. Jika kami tidak bekerja dan miskin, itu wajar. Tetapi apakah wajar jika sudah puluhan tahun kami bekerja, tetapi kehidupan kami tetap miskin.
Ada yang bilang: “Kalau nggak mau jadi buruh dengan gaji sebesar itu, keluar aja dari perusahaan. Githu aja kok repot!”
Owh, sudah ratusan kali kami mendengar kalimat seperti itu. Bahkan ada yang lebih kasar.
Mereka kan hanya para penitip nasib sejati yang bermulut ember. Kami bahkan masih ingat, ketika kami memperjuangkan agar kenaikan upah di tahun 2013 kemarin agar melebihi angka 2 juta, mereka juga mengatakan hal yang sama. Ketika upah tembus 2,2 juta, tidak ada tuh yang bilang: Hei serikat buruh. Upah saya cukup 1,7 juta saja. Sisanya buat Anda…
Mereka selalu begitu, sedari dulu. Satu contoh lagi, misalnya, ketika kami berjuang agar 1 Mei menjadi hari libur nasional. Mereka juga mencibir. Dan ketika saat ini 1 Mei sudah ditetapkan sebagai hari libur, dengan tak tahu malu mereka ikut-ikutan ‘merayakannya’. Mereka lupa, bisa bekerja 40 jam dalam seminggu atau 8 jam dalam sehari, adalah juga karena perjuangan serikat pekerja.
Justru olok-olok mereka semakin membuat kami bersemangat untuk membuktikannya.
Mereka lupa, sudah sering kami membuktikannya. Ketika kami tidak setuju upah murah, kami keluar dari perusahaan-perusahaan dan berbondong-bondong mengepung Istana Negara. Kami juga pernah meninggalkan pekerjaan, melakukan mogok nasional. Oh ya, Pak, saya kasih bocoran kepada Anda. Para pemimpin serikat buruh saat ini sedang mempersiapkan mogok nasional jilid 2, jika Anda tidak segera mencabut Inpres tentang upah itu dan menyetujui kenaikan upah sebesar 50 persen.
Jadi, kalau ada yang bilang: “Kalau nggak mau upah murah, keluar aja dari perusahaan.”
Ya, kami pasti akan keluar dari pabrik-pabrik. Kami geruduk Istana. Kami hentikan mesin-mesin, bergerak dan berjuang minta upah yang lebih tinggi. Karena kami percaya, tidak akan ada perubahan terhadap suatu kaum, jika kaum itu sendiri tidak merubahnya. Kami bukan penitip nasib, Pak.
Tetapi jika yang mereka maksud keluar dari perusahaan adalah mengundurkan diri, agar kami melakukan PHK secara sukarela, kami anggap orang yang mengatakan itu sudah sakit jiwa. Mengapa demikian?
Kalau begitu, Anda ingin upah buruh Indonesia tetap murah?
Tega sekali kalian menyaksikan buruh-buruh Indonesia dibayar murah, bertahun-tahun lamanya. Ingat, satu saat anak-anak Anda juga akan memasuki dunia kerja. Kami hanya bisa berdo`a, semoga anak-anak itu kelak tidak mewarisi sikap kalian yang hanya bisa tunduk mengangguk saat dihisap tenaga dan pikirannya.
“Kalau buruh yang hanya berpendidikan rendah minta 3,7 juta, lha kita-kita yang sarjana gajinya harus berapa?”
Sebenarnya kami kasihan mendengar pernyataan seperti ini, Pak. Seolah-olah gaji 3,7 juta sangat besar sekali, dan jika itu disetujui langit akan runtuh esok hari. Padahal kenaikan 50 persen hanyalah untuk mengembalikan daya beli akibat kenaikan BBM dan inflansi. Upah realnya sendiri, sebenarnya, belum naik.
Owh, sekarang kami menjadi paham. Jadi gaji buruh – yang tak mau disebut buruh – itu juga masih jauh dibawah 3,7 itu? Kasihan sekali mereka, jika bisanya hanya diam. Buat apa sekolah tinggi-tinggi jika masih dibayar murah? Bukankah akan lebih baik bergabung saja dengan gerakan ini, toh jika berhasil mereka akan menikmati yang lebih tinggi.
Banyak cerita dari kawan-kawan kami yang sudah puluhan tahun bekerja. Mulanya perusahaannya biasa saja. Lalu membangun gedung baru. Beberapa tahun kemudian membuka cabang baru. Karyawan yang tadinya berjumlah puluhan kini menjadi ribuan. Si bos memiliki rumah diluar negeri, mobil mewah, menyekolahkan anaknya di universitas terbaik, tetapi nasib buruhnya tak membaik: tetap saja dikisaran UMK.
Bertahun-tahun kami diupah murah, tetapi tidak ada yang berbicara dan membela, agar jangan eksploitasi buruh-buruh di Indoensia.
Apakah hal seperti ini adil?
Saya kira Anda juga setuju. Ini tidak adil. Wakil Gubernur DKI saja tahu kalau dengan gaji 2 juta tidak layak hidup di Jakarta. Apalagi Anda, Presidennya.
Karena itu, demi Tuhan, cabut kembali Inpres yang sudah Anda terbitkan, Pak Presiden. Karena itu melanggar konstitusi dan hanya akan membangkitkan perlawanan bagi kaum buruh Indonesia. (*)
Posted by Kahar S Cahyono
No comments