Lawan Kapitalisme |
“Kepada Saudara yang butuh Ginjal, kami siap jual, tubuh kami siap dibelah demi menebus ijasah.”
Juni 2013, ada pemandangan yang tak biasa di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Sugiyanto, seorang bapak dan buruh harian lepas, mengobral ginjalnya untuk menebus ijasah kedua putrinya. Ayah lima anak ini menuturkan, ia nekat menjual ginjal lantaran lelah mencari jalan keluar guna menebus ijazah anaknya dari SMP hingga SMA. Total biaya yang harus dia tebus sekitar 70 juta rupiah.[1]Butuh kerja keras bertahun-tahun bagi seorang buruh harian lepas, untuk menebus biaya sebesar itu.
Fenomena tersebut merupakan satu kasuistik yang muncul di permukaan diantara ribuan kasus. Ya, problem kesejahteraan mayoritas masyarakat pekerja dan akses pendidikan tinggi masih menjadi pekerjaan rumah yang serius bagi pemerintah. Kuasa kapital ditengah pemberlakuan paksa politik upah murah dan tren kenaikan biaya pendidikan tinggi akan menciptakan ribuan Sugiyanto-Sugiyanto baru. Tulisan ini sekedar ide untuk mengajak pembaca kembali merefleksikan interelasi problem dunia industri / ketenagakerjaan dengan dunia pendidikan, dibawah kuasa kapital.
Konvergensi Kerja danPengetahuan : Buruh dan Mahasiswa
Industri Indonesia berkembang dengan cepat sekitar 1967-1980an. Era ini menandai fase transformasi ‘petani’menjadi ‘buruh’ besar-besaran dan kembali mengonsolidasikan basis-basis produksi paska kemerdekaan. Selanjutnya terjadi liberalisasi sektor jasa dan finansial (1980an-1998) yang melahirkan jenis ‘buruh’ baru yakni kaum borjuis-upahan, mereka yang dalam banyak literatur disebut ‘kelas menengah’. Era inilah yang juga membuat dikotomi istilah buruh dan karyawan. Berikutnya, yaitu reformasi (1998– sekarang) yang menjerumuskan Indonesia semakin dalam di skema ‘negara neoliberal’, di mana semua sektor kehidupan di-kuasai dalam logika ekonomi pasar, dan menyebabkan sektor-sektor produksi menjadi konvergen dengan basis-basis pengetahuan.[2]
Data historis itu melahirkan kebutuhan akan tenaga kerja terdidik. Pertumbuhan ini telah membawa perubahan dalam struktur sosial masyarakat. Kapitalisme semakin membutuhkan kaum terpelajar, yaitu calon-calon buruh terdidik untuk menciptakan aktifitas produksi menjadi lebih efisien. Dengan cepat perubahan sosial dari kota-kota bertransformasi, melahirkan keluarga-keluarga dan para generasi muda yang hidupnya tergantung dari upah bertambah. Otomatis komposisi sosial dari intelektual juga mengalami perubahan.
Seiring dengan makin dibutuhkan tenaga kerja terdidik, muncul persepsi di kalangan masyarakat bahwa jenjang pendidikan sangat menentukan karir dan kesuksesan individu. Makin tinggi jenjang pendidikan seseorang, akan makin tinggi harapan mendapatkan karir dan kesuksesan dalam dunia kerja. Secara otomatis pula, lembaga-lembaga pendidikan tinggi menjadi arena kompetisi untuk mendapatkan gelar intelektual, sekaligus “jaminan”masa depan cerah. Menariknya, lingkaran kaum terpelajar Indonesia saat ini didominasi oleh kaum muda dari lapisan masyarakat menengah seperti generasi keluargapetani kecil, kelas menengah kota, dan anak muda dari para pegawai rendahan. Meskipun tak menegasikan jumlah mahasiswa yang memang berasal dari keluarga borjuasi.
Faktanya, kebanyakan dari kaum terpelajar adalah anak-anak pegawai sipil rendahan, bangsawan kecil atau bangsawan yang hanya memiliki gelar belaka. Kelompok sosial ini membawa fenomena menarik di dunia pendidikan tinggi, yaitu posisi mahasiswa sebagai kaum intelektual mengalami proletarisasi demikian massif, seiring maraknya praktik kapitalisasi pendidikan yang menyebabkan akses pendidikan tinggi bak seleksi alam. Semakin banyak mahasiswa-mahasiswa yang hidupnya tergantung pada beasiswa yang jumlahnya tak seberapa. Di tahun 2013, Kemendikbud sudah memberi dukungan biaya pendidikan pada 149.768 mahasiswa. Mereka tersebar di 98 Perguruan Tinggi Negeri, dan 590 Perguruan Tinggi Swasta.[3] Sementara total partisipasi pendidikan tinggi mencapai 4,6 juta mahasiswa, artinya hanya 3,25% dari total mahasiswa Indonesia yang mendapatkan beasiswa. Sisanya, golongan intelektual ini menggantungkan napasnya dari gaji orangtua yang mayoritas bekerja sebagai buruh upahan (seperti studi kasus Sugiyanto di atas). Sisanya lagi, mahasiswa harus bekerja paruh waktu atau menjadi pekerja upahan untuk bisa membayar biaya pendidikan yang semakin tinggi.
Masuknya Indonesia dalam ASEAN Community (MEA) pun membawa konsekuensi liberalisasi di tiga aspek : liberalisasi modal dan investasi, liberalisasi perdagangan dan ekspor barang mentah, serta liberalisasi tenaga kerja. Poin terakhir, terutama menyoal liberalisasi tenaga kerja, menjadi tantangan sekaligus ancaman serius bagi angkatan kerja dalam negeri. Hal ini akan menciptakan situasi kompetisi antar tenaga kerja dalam negeri maupun tenaga kerja lingkup ASEAN. Salah satu aspek yang diperhitungkan dalam kompetisi ini adalah skill dan jenjang pendidikan si buruh. Semakin banyak ketrampilan yang dimiliki serta semakin tinggi jenjang pendidikan si buruh, maka baru bisa dihitung dalam persaingan pasar tenaga kerja. Begitupun sebaliknya. Posisi jenjang pendidikan dan ketrampilan kembali menjadi acuan penting dalam persaingan pasar tenaga kerja dalam negri khusunya, dan ASEAN pada umumnya.
Sayangnya, persepsi makin tinggi jenjang pendidikan seseorang tak selalu berbanding lurus dengan angka penyerapan tenaga kerja terdidik. Pada Februari 2012, pekerja pada jenjang pendidikan SD ke bawah masih tetap mendominasi yaitu sebesar 55,5 juta orang (49,21 persen), sebesar 41,59 persen diserap oleh lulusan SMP dan SMA, sedangkan pekerja dengan pendidikan diploma sekitar 3,1 juta orang (2,77 persen) dan pekerja dengan pendidikan universitas hanya sebesar 7,2 juta orang (6,43 persen).[4]
Hal ini menunjukkan bahwa problem penyerapan tenaga kerja dan partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia adalah problem yang serius. Belum lagi pemberlakuan politik upah murah dan kapitalisasi pendidikan, menjadi momok yang cukup mengkhawatirkan bagi keberlangsungan hidup mayoritas keluarga Indonesia yang notabene keluarga buruh upahan. Benar, bahwa ada interelasi yang dekat antara dunia kerja dengan dunia pendidikan. Bahwa keduanya sama-sama dikuasai sistem kapitalisme.
Pendidikan Indonesiadi Era Kuasa Kapital
Sejak berakhirnya perang dingin demokrasi liberal disebarkan melalui berbagai institusi maupun rezim, termasuk WTO, IMF, dan Bank Dunia, yang biasa disebut unholly trinity. Lewat kebijakan stuktural adjustment program-nya, ketiga institusi tersebut menjadi ujung tombak penyebaran nilai-nilai demokrasi liberal. Indonesia sebagai sebuah entitas negara yang tidak terpisahkan dari konstelasi politik global, juga tidak dapat menghindarkan diri dari penyebaran nilai-nilai demokrasi liberal.
Dalam konteks kebijakan pendidikan, maka keikutsertaan Indonesia dalam GATS menjadi awal mula masuk-nyas emangat liberal-kapitalisme di dunia pendidikan. Berdasarkan kesepakatan di GATS, maka pendidikan dimasukkan sebagai salah satu sektor komoditas jasa, sehingga Indonesia yang ikut menyepakati GATS, harus melakukan berbagai penyesuaian struktural agar sektor pendidikan menjadi sebuah sektor komoditas jasa. Berangkat dari kesepakatan tersebut, maka Indonesia mengeluarkan berbagai kebijakan terkait pendidikan mulai dari UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, dan UU Badan Hukum Pendidikan yang akhirnya dicabut oleh MK dan juga UU PendidikanTinggi.
Dalam perjalanan setahun undang-undang no 12 tahun 2012 (UU Dikti), telah melahirkan sistem Uang Kuliah Tunggal dan legalitas terhadap pemberlakuan Badan Layanan Umum (BLU). Menariknya, dalam UU Pendidikan Tinggi pasal 76 ayat ayat 2 point c, menyebutkan bahwa mahasiswa yang tidak mampu membayar biaya kuliah bisa meminjam uang (student loan ala pendidikan Barat). Lembaga pendidikan tinggi telah disulap sebagai lembaga pencetak ijasah dan tenaga kerja murah, dengan mekanisme yang sangat fleksibel dan efisien, juga menyesuaikan kurikulum Baratdan gairah liberalisasi pendidikan.
Dalam konteks tersebut, maka pemikiran liberal percaya bahwa akan terjadi sebuah efisiensi ketika peran negara diminimalisasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa program tersebut merupakan sebuah ‘bantuan’ terhadap proses perubahan institusi pendidikan menjadi sebuah institusi yang efisien. Pada akhirnya kita dapat melihat bahwa berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam kaitannya dengan pendidikan menunjukkan adanya upaya secara sistematis untuk mewujudkan sebuah pendidikan yang efisien tanpa adanya intervensi dari pemerintah. Swasta dan modal asing dibiarkan mendominasi penyelenggaraan sektor pendidikan. Otomatis, semangat lembaga pendidikan masa kini berganti menjadi profit oriented, tidak lagi menjadi lembaga yang memanusiakan manusia.
Data Menkokesra menyebutkan angka partisipasi kasar (APK) Indonesia ke pendidikan tinggi hanya 18,7 persen. Artinya, ada 86 persen anak usia 19-23 tahun yang belum sempat kuliah.[5]Jumlah mahasiswa Indonesia 4,6 juta, sementara anak usia yang harus belajar di perguruan tinggi mencapai 25 juta. Jika dibandingkan APK negara maju yang mencapai 40 persen, Indonesia harus bekerja keras untuk mencapai angka itu. Amerika Serikat misalnya, memiliki APK 60 persen dan tertinggi Korea Selatan yang mencapai angka 90 persen.
Kasus Sugiyanto diatas, adalah gambaran paling nyata kondisi pendidikan di Indonesia. Jangankan untukmendaftar di pendidikan tinggi, menebus ijasah SMP-SMA pun butuh 70 juta rupiah. Nominal yang cukup fantastis bagi keluarga kelas pekerja, yang hari ini paksa bertahan hidup dalam skema politik upah murah.
Interelasi Industridan Pendidikan : Lawan Kuasa Kapital !
Buruh dan mahasiswa adalah dua sektor berbeda, namun sama-sama korban eksploitasi kapitalisme. Keduanya mempunyai irisan yang sangat kongkrit tentang isu bersama, yaitu isu ketenagakerjaan dan pendidikan. Kaum buruh memerlukan pendidikan dan akses ilmu pengetahuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan beradaptasi dengan perkembangan jaman. Sementara mahasiswa sebagai calon buruh mempunyai kepentingan untuk turut memperjuangkan kualitas hidup layak secara ekonomis.
Demikian paparan secara normatif. Namun ada hal yang lebih maju yang bisa di perjuangkan dari interelasi antara buruh dan mahasiswa. Keduanya (tanpa menegasikan sektor rakyat lainnya) punya historis sosial, yaitu potensi berperan sebagai katalisator politik. Kondisi semacam ini hanya bisa kita konkretkan dalam bentuk gerakan, solidaritas dan persatuan. Namun selama buruh hanya mengidentifikasikan dirinya pada batas-batas yang diberikan oleh Serikat pada umumnya, isu yang diusung pun tak banyak mengaitkan dengan sektoral-pendidikan pada khususnya, maka buruh akan susah memahami perjuangan mahasiswa. Begitu juga, jika mahasiswa hanya mengidentifikasikan dirinya pada parameter yang diberikan oleh organisasi mahasiswa, ia tidak akan paham mengapa buruh berjuang. Yang harus dilakukan keduanya, untuk mendapatkan gambaran tentang ‘diri,’ adalah menempatkan posisi mereka dalam relasi produksi kapitalisme sekarang, dan meletakkan dirinya pada logika antagonisme yang disandarkan pada ‘ekonomi-politik’ produksi dari kapitalisme modern hari ini.
Oleh karena itu, momentum 1-2 Mei seharusnya dijadikan uji praktik konsolidasi gerakan multisektoral (buruh, mahasiswa dan sektor rakyat lainnya). Dengan persatuan gerakan rakyat yang mandiri, akan menjadi ‘senjata’ kita untuk melawan kuasa Imperialisme. Persatuan gerakan rakyat hendaknya juga jadi uji praktik bagi penciptaan partai rakyatsejati, yang mandiri dan tak bergantung pada elit borjuasi.
Selamat Hari Buruh !
Selamat Hari Pendidikan Nasional!
Kaum Buruh-Mahasiswa Bersatu, Lawan Kapitalisme dan Bangun Alat Politik Alternatif !
Jakarta, 1 Mei 2014
Ditulis oleh: Nunung Palupi Lestari
No comments