isi “Ini Bukan Sekadar Angka dan Logika, Tapi Kekuatan Politik Pekerja” | SekberBuruH
Select Menu

ads2

Aksi

Kampanye

Kampanye

Aksi

Kabar Basis

Kampanye

Ekspresi

Solidaritas

Artikel

SEKBER BURUH TV

» » “Ini Bukan Sekadar Angka dan Logika, Tapi Kekuatan Politik Pekerja”
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post


Zely Ariane[1]

Ruangan lantai dasar Gedung Juang tidak cukup menampung sekitar tiga ratus buruh, yang duduk lesehan tanpa alas pada pagi hingga siang, di Senin 30 September 2013. Karena kapasitas ruangan yang kecil, beberapa ratus lainnya terpaksa berkelompok di luar. Sebagian lainnya berdiri menyaksikan dari luar, melalui jendela-jendela yang dibuka, belasan pimpinan serikat dan aktivis buruh yang bicara di depan dengan wajah sumringah. Para peserta dengan tatapan bersemangat dan berpengharapan menikmati satu persatu wakil mereka bicara, menyatukan komitmen untuk meneguhkan perjuangan menuntut kenaikan upah 50%.

Bagi saya, ada yang tampak tak biasa dalam konsolidasi yang disiapkan sangat singkat tersebut, 3 minggu saja. Bukan teriakan “hidup buruh” yang tidak asing lagi dibahanakan dalam setiap konsolidasi dan aksi buruh, bukan juga semangat mogok nasional yang sebetulnya telah semakin diyakini oleh gerakan buruh, namun jajaran pimpinan dan aktivis buruh dari berbagai elemen yang duduk bersama, menyingkirkan sejenak perbedaan-perbedaan politik diantara mereka, eksistensi politik dan organisasi, untuk menyatukan kekuatan perlawanan agar kenaikan upah 2014, sebesar 50%, dapat dimenangkan.

Bisa jadi, (persatuan) itu hanya harapan saya—karena saya tidak tahu apa yang ada di dalam hati dan pikiran masing-masing orang. Walau harapan ini memiliki landasan kebutuhan yang semakin nyata, ditengah gerakan buruh sedang dipukul balik dengan kerasbersama-sama oleh pemerintah, pengusaha dan aparat. Kemenangan kecil yang diperoleh gerakan di tahun 2011, 2012 dan 2013, sedikit demi sedikit dipreteli, antara lain dengan kriminalisasi, union busting, PHK, penangguhan upah, UU Ormas, pemogokan yang dipersulit, pelibatan TNI untuk mengawal 48 kawasan dan industri sebagai objek vital, serta yang terkini rencana penerbitan instruksi presiden terkait pembatasan kenaikan upah 2014.

Rasanya sangat tidak masuk akal, dikala ancaman yang begitu besar, sekaligus potensi pergerakan buruh yang juga besar, masing-masing organisasi dan serikat buruh masih memikirkan eksistensi organisasinya belaka.

Kenapa kenaikan 50%
Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), membuka forum konsolidasi tersebut dengan mengucapkan selamat atas keberhasilan dilaksanakannya pertemuan yang dihadiri para aktivis buruh perwakilan dari 18 Propinsi dan sekitar 70 kota seluruh Indonesia. “Realisasi investasi ke negeri ini masih tinggi, siapa bilang (investor) mau kabur (karena buruh menuntut kenaikan upah)?” demikian Iqbal menyampaikan. Ia mengajukan argumentasi yang tajam serta memaparkan banyak bukti untuk melawan argumentasi dan ancaman yang disebar pemerintah dan pengusaha, melawan tuntutan kenaikan upah buruh, dengan massif melalui media massa.

Iqbal meyakinkan, tidak ada perpindahan modal, yang ada adalah pelemahan rupiah yang disebabkan oleh faktor-faktor non upah. Pertama, tren utang luar negeri yang jatuh tempo sehingga membutuhkan banyak dolar. Sementara utang ini bukanlah utang buruh, tidak memberi manfaat bagi kaum buruh, boro-boro diketahui atau atas persetujuan kaum buruh. Sehingga tidak ada landasan kaum buruh harus ikut berkorban dan dikorbankan. Kedua, oleh sebab impor yang lebih besar dari ekspor. Tapi siapa yang melakukan dan mengapa harus impor? Dan lagi-lagi, kenapa buruh yang dikorbankan? Mengapa bukan para pemilik dolar yang ‘merampok’ uang rakyat di Bank-bank? Mokhtar Pakpahan, pendiri Serikat Buruh Sejahtera Indoneisa (SBSI) yang juga hadir siang itu, mengatakan bahwa impor ini disebabkan oleh kaum tani yang disingkarkan oleh penguasa dan pemodal saat ini. Jumlah kaum tani yang semakin menyusut, tak punya tanah, tak punya modal produksi, membuat bahan baku kebutuhan hidup diimpor. Ketiga, dampak kenaikan BBM yang semakin berat dirasakan masyarakat menengah bawah. Ketiga faktor inilah yang semakin mendorong buruh teguh memperjuangkan 50% kenaikan upah.

Sebetulnya, kenaikan upah 50% itupun tidaklah seberapa bila dibandingkan dengan kesenjangan upah yang begitu besar di negeri ini. Sekitar 2,5% saja orang yang menguasai mayoritas kekayaan di Indonesia. Sementara nilai upah buruh yang menurut UU ditetapkan berdasarkan kebutuhan hidup minimum orang lajang yang, sebetulnya, tidakpun masuk akal, serta tidak sesuai dengan kebutuhan hidup layak menurut International Labor Organisation (ILO). Bagaimana mungkin, berdasarkan penghitungan kebutuhan hidup layak selama ini, buruh hidup hanya dengan makan ikan segar 5 ekor sebulan?

Kenaikan lima puluh persen tampak tinggi, karena standar penghitungan kebutuhan hidup minimum di negeri ini sudah lama sangat rendah, sangat minimum, bahkan menghina kemanusiaan seorang buruh. Ilhamsyah, Ketua Serikat Buruh Transportasi Perjuangan Indonesia (SBTPI) menegaskan, itulah yang disebut sebagai politik upah murah, yang menjadi dagangan pemerintah pro kapitalisme pada jajaran investor dunia sejak Soeharto Orde Baru, selain limpahan bahan mentah dari berbagai sumber kekayaan alam dan 250 juta jiwa manusia yang menjadi sasaran pasar di negeri ini.

Masih menurut Ilham, semua kaum buruh sebetulnya sadar bahkan kenaikan 50% belum cukup (bahkan tak sebanding) dengan keuntungan yang didapatkan pengusaha. Namun pengusaha terus ngotot upah tidak boleh naik, dan perusahaan segera dijadikan objek vital agar kepentingan pengusaha tidak diganggu oleh tuntutan buruh. Mereka juga terus membangun opini bahwa kaum buruh Indonesia tidak produktif (sehingga sah diupah murah), padahal dari kerja buruh-buruh Indonesia yang dibilang “tidak produktif” itulah kekayaan 2,5% orang-orang Indonesia bahkan dunia terus bertambah—bahkan semakin bertambah justru dikala krisis seperti sekarang!

Kenapa mogok nasional
“Ketika pengusaha dan penguasa; Ketua Apindo, Menteri Perindustrian dan Menko Perekonomian, masih terus konspirasi menekan kehidupan buruh dengan upah murah, maka mogok nasional adalah keharusan,” demikian Iqbal menegaskan dalam pidatonya. Karena mereka telah memutuskan jumlah kenaikan upah (inflasi+5% untuk industri padat karya, dan inflasi+10% untuk industri padat modal) bahkan sebelum survey kebutuhan hidup layak dilakukan; karena dengan membuat rekomendasi semacam itu mereka telah melanggar UU; karena mereka terus menuduh bahwa buruh yang tidak mau mengalah dan tidak puas, maka kaum buruh akan menjawab tuduhan itu dengan pemogokan: “mereka jual, kita beli! Memangnya mereka bisa hidup dengan 2,2 juta perbulan?”

Iqbal juga menekankan pada para anggota Dewan Pengupahan, bahwa kenaikan upah 50% adalah harga mati: “tidak disetujui, maka walk out dari perundingan.” Kaum buruh bersama-sama; ribuan orang, diberbagai tempat, setiap pulang kerja atau sebelum berangkat kerja mesti terus mengawal setiap perundingan upah, agar Dewan Pengupahan juga tidak main-main.

Obon Tabroni, pimpinan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Bekasi, mengingatkan bahwa fakta dari perjuangan menuntut upah naik selama beberapa tahun ini menunjukkan, bahwa persoalan kenaikan upah sebetulnya bukan persoalan adu argumentasi, logika atau rasionalisasi, melainkan adu kekuatan. Disitulah peran penting pemogokan sebagai satu-satunya senjata meningkatkan perimbangan kekuatan kaum buruh. “Upah adalah soal kekuatan, bukan (saja) data dan logika.”

Pernyataan Obon inilah yang sangat menarik perhatian saya. Seperti Karl Marx dan juga Fredereich Engels—dua pemikir dan pejuang pembebasan kelas buruh dan pelopor kritik ilmiah terhadap kapitalisme—katakan lebih dari seabad yang lalu: bahwa upah adalah persoalan kekuatan politik, bukan rasionalisasi ekonomi. Karena dalam sistem kapitalisme, suatu sistem yang hidup dari pemiskinan milyaran orang (mayoritas) demi kemakmuran ribuan orang saja (minoritas), upah selalu merupakan komponen untuk sekadar bertahan hidup, bukan untuk hidup. Upah adalah nilai yang dibayar dimuka untuk tenaga kerja yang akan dikeluarkan buruh oleh pemilik modal, tidak memperhitungkan jumlah jam kerja yang buruh keluarkan untuk memproduksi barang dan jasa, apalagi dibandingkan dengan laba yang diterima pemilik modal. Nilai upah dalam sistem ini adalah nilai pengorbanan buruh, agar para pemilik modal dan seluruh keluarga serta keturuannya bisa hidup lebih enak, punya rumah lebih banyak, aset yang terus berlipat ganda di banyak tempat. Bagaimana mungkin nilai tersebut dirasionalisasi di dalam sistem ini? Seberapa menderita lagi buruh harus dibuat agar pengusaha hidup semakin enak? Seberapa banyak lagi pengangguran dipertahankan agar buruh terus bisa diupah rendah karena banyak “saingan” tenaga kerja murah?

Karena itu pemerintah selalu mengancam buruh dengan investor yang akan kabur, PHK massal, krisis yang sedang melanda, dll agar buruh ikut menanggung. Pemerintah tidak bicara bahwa krisis justru membuat pengusaha dan investor terkaya bertambah kaya karena Bank terus membantu mereka (bahkan Bank punya mereka). Setiap krisis ekonomi, yang paling pertama diselamatkan bukanlah rakyat yang kelaparan atau buruh yang di PHK massal, tetapi pengusaha yang ditalangi hutang-hutangnya, disubsidi pengeluarannya dari uang keringat buruh yang ada di berbagai Bank dan asuransi yang disimpan puluhan tahun tanpa pernah buruh ingat atau tahu cara menghitungnya.

Lima potong ikan sebulan mungkin bisa untuk bertahan hidup, tapi tidak bisa untuk hidup. Lima potong ikan sebulan membuat buruh yang bertahan hidup seperti zombie: leher, tangan, punggung bahkan kakinya dipenuhi bekas-bekas kerokan, atau mata cekung, mimik wajah kusut, lambung yang seumur hidup berpenyakit maag, para ibu dan perempuan yang harus bekerja tambahan lebih keras bahkan dengan menerima kekerasan seksual sebagai bagian dari kerja untuk bertahan hidup itu. Kadang mereka memang tertawa-tawa ketika berkumpul dengan teman-teman, belanja barang-barang Cina dengan kredit, sebagai satu-satunya cara untuk bertahan hidup, melupakan teror rentenir yang menghabiskan gaji mereka setiap bulan. Tetapi tawa itu bukan tawa bahagia! Itu adalah tawa pelarian.

Tentu itu bukan hidup. Hidup membutuhkan pengembangan kapasitas manusia, rekreasi, kebudayaan, kesenangan, perlindungan, dan rencana-rencana masa depan yang lebih baik untuk generasi penerus. Dan semua faktor-faktor kehidupan itu, dirampas dengan keji oleh pemilik modal dan negara yang mereka dirikan, dari setiap detik keringat yang dikeluarkan buruh di pabrik, di kantor, di ruang percetakan, di toko, di mal, di rumah sakit, di areal pertambangan, dst, masuk ke dalam simpanan para pemilik modal di berbagai tempat di dunia, dan ke kantong para politisi hina yang duduk di pemerintahan dan dewan-dewan perwakilan yang sebagian besar dari mereka bekerja untuk memuluskan perundangan pro pemilik modal.

“Bila tindakan (mogok untuk memperjuangkan upah naik) ini disebut subversif, silahkan saja. Karena sebetulnya, yang mempertahankan upah rendah jauh lebih subversif,” demikian Iqbal menutup pidatonya.

Buruh bersatu pasti menang
Semua aktivis buruh yang bicara di ruangan itu menyatakan: persatuan adalah kebutuhan mutlak saat ini. Persatuan lintas warna organisasi, yang sadar bahwa nasib buruh sedang diujung tanduk. Kalah tahun ini, maka harapan menang semakin kecil tahun depan. Deklarasi dan semangat persatuan pada siang itu tentu saja sangat menginspirasi, khususnya bagi gerakan buruh di daerah-daerah lain yang belum bangkit dan membutuhkan teladan.

Namun, persatuan tentu saja bukan deklarasi semata. Persatuan adalah komitmen untuk bekerja bersama, memberikan yang terbaik yang dimiliki masing-maisng organisasi untuk mencapai tujuan dari persatuan tersebut. Persatuan bukan ajang unjuk eksistensi siapa yang paling benar diantara satu sama lain, melainkan ajang unjuk kekuatan untuk menaklukkan musuh dan mememangkan tuntutan. Persatuan adalah membina kepercayaan, belajar dari tradisi perlawanan yang paling baik yang dihasilkan dari perjuangan bersama itu. Persatuan itu untuk kemenangan seluruh rakyat, bukan untuk keuntungan satu organisasi.

Harapan sangat besar pada persatuan buruh kali ini, termasuk bagi saya, yang hanya buruh lepas—kadang ada kerja kadang tidak. Perjuangan untuk kenaikan upah 50% ini adalah medan perjuangan sangat berat. Karena setiap dijit kenaikan upah yang dituntut, menohok langsung ekonomi kapitalis yang dijalankan saat ini. Pemilik modal sudah lebih dulu berkonsolidasi, lebih rapi, lebih sistematis, lebih terang-terangan jahatnya, dan pemerintah sudah terang-terangan mendukung mereka—baru saja berita dilansir bahwa presiden siap mengeluarkan Instruksi terkait pembatasan kenaikan upah itu.

Tentu kita adalah bagian yang zalim jika hanya menontonnya, atau menggerutu bahkan marah karena tidak bisa tampil pidato di dalam suatu aksi bersama. Tidak, persatuan kali ini mesti lebih dewasa. Karena perjuangan ini bukan tentang kita dan organisasi kita, tapi tentang masa depan 120 juta buruh seluruh Indonesa, dan kaum tani, perempuan, juga kelas menengah—yang sebetulnya bagian dari 120 juta buruh itu juga. Tentu kita tidak akan pertaruhkan itu hanya demi bendera dan seragam semata.

Hidup buruh.
Hidup buruh yang bersatu.
Sampai Menang.

[1] Anggota Politik Rakyat

About Unknown

Sekber Buruh adalah persatuan perjuangan buruh untuk melawan tiap bentuk penindasan dengan program-program kerakyatan yang anti penindasan dan penghisapan.
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments

Ayo Berkomentar