isi The Act of Killing | SekberBuruH
Select Menu

ads2

Aksi

Kampanye

Kampanye

Aksi

Kabar Basis

Kampanye

Ekspresi

Solidaritas

Artikel

SEKBER BURUH TV

» » The Act of Killing
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post


Pemutaran Film G30S
The Act of Killing telah memenangkan pujian, atas cara kreatifnya memberi pencerahan ke dalam dunia mental beberapa orang pelaku kejahatan salah satu kasus terburuk kekerasan massa di abad ke 20, serta dampak akibat kekerasan tersebut terhadap masyarakat Indonesia hingga kini. Dikarenakan temanya, ia menyertakan deskripsi grafik kekerasan (seksual). Menyaksikannya merupakan pengalaman yang menganggu ketenangan, namun penting bagi siapapun yang ingin mengerti masyarakat Indonesia modern.

Soekarno, presiden Indonesia pada masa pembantaian tersebut, adalah salah seorang pemimpin gerakan nasionalis yang di pertengahan 1940-an memenangkan kemerdekaan melawan kolonialisme belanda. Dari ketiga sumber kekuatan politik utama—tentara, gerakan Islam dan Partai Komunis Indonesia (PKI)—PKI lah yang secara perlahan menjadi favoritnya di tahun 1960-an. Tokoh populis karismatik dan Komunis Indonesia semakin dekat seiring Soekarno menantang keras imperialisme barat dan pengaruh kekuatan barat terhadap bekas jajahan formalnya. Ia menjadi sekutu Mao-Cina dan meulai berbicara mengenai front anti imperialis sedunia dan ‘sosialisme Indonesia’. Dengan loyal mendukung pimpinan populis Indonesia, PKI menjadi partai Komunis di luar blok Komunis dengan jutaan anggota dan pendukung. Sukarno menunjuk para pimpinan PKI yang terkemuka untuk menempati posisi simbolik di pemerintahannya.

Kontra-revolusi
Para elit Indonesia dan pimpinan tentara menyaksikannya dengan kewaspadaan yang terus tumbuh. Setelah konflik berdarah antara PKI dan kekuatan kanan di tahun 1940, PKI memilih strategi legal dan damai namun tetap menjadi musuh tentara. Para mantan perwira tinggi yang tumbuh kaya sebagai pengusaha atau pemilik perkebunan yang mereka lawan dengan semakin percaya diri, PKI mendominasi gerakan buruh. Para pemimpin agama memiliki alasan mereka sendiri melawan PKI; mereka menolak kiri ‘atheis’, meskipun banyak anggota PKI adalah orang-orang yang taat beragama. Organisasi-organisasi keagamaan memiliki tanah yang luas dan menolak rencana reforma agraria Soekarno dan PKI.

Situasi politik meningkat semakin tegang di 1960an. Nyala yang membakar tong mesiu adalah putsch 30 September, 1965. Sekelompok perwira menengah militer menculik dan membunuh sejumlah perwira senior yang diketahui melawan Soekarno. Hanya beberap ajam kemudian, para pelaku mendeklarasikan suatu ‘dewan revolusioner’ yang akan menggantikan kabinet Soekarno. Namun, pasukan yang dikomandoi oleh Jenderal Suharto dengan cepat menghancurkan ‘Gerakan 30 September’.

Enam bulan selanjutnya, masyarakat Indonesia ditransformasikan seiring masifnya gelombang kekerasan. PKI, organisasi massanya dan Soekarnois nasionalis sayap kiri dihancurkan dengan kejam oleh suatu ‘koalisi kekerasan’ terdiri dari para perwira senior, kapitalis raksasa, gerakan keagamaan, dan para milisinya. [1] Perkiraan terkecil jumlah korban antara 700.000 dan 1 juta jiwa. Soekarno disingkirkan, Suharto menjadi penguasa baru Indonesia yang tak terbantahkan.

Gerakan 30 September, atau G30S, merupakan salah satu teka teki terbesar dalam sejarah abad 20. Penguasa baru Indonesia mengklaim bahwa pelakunya adalah front PKI yang mencoba mengambil alih kekuasaan. Komunis dikatakan telah mengombilasi daftar yang harus dibunuh dan telah menyiapkan kuburan massal. Yang secara khusus diperlakukan berbeda adalah Gerwani, organisasi perempuan sekutu PKI. Rezim baru mengarang cerita mengerikan tentang bagaimana perempuan komunis seakan-seakan menyiksa secara seksual para jenderal yang ditangkap. Namun PKI tidak mengorganisir aksi apapun untuk mendukung yang disebut kudeta tersebut dan jumlah orang komunis yang terlibat dalam G30S kecil.

Penjelasan yang paling meyakinkan dari gerakan tersebut diberikan oleh John Roosa. [2] G30S tidak berencana untuk melakukan kudeta namun hendak melakukan pembersihan terhadap kepemimpinan tentara. Namun demikian, setelah sejumlah kesalahan penculikan berbuah kematian, Sukarno tidak dapat mendukung gerakan itu. Deklarasi suatu ‘dewan revolusioner’ oleh gerakan adalah usaha yang panik untuk mengambil kontrol terhadap situasi yang memanas. Keterlibatan PKI terbatas hanya para pimpinan, diantara mereka sekretaris jenderal D.N. Aidit, yang bertindak tanpa menginformasikan jajaran peimpinan lainnya, apalagi partai.

G30S memberikan pada tentara mimpi untuk mendapatkan alasan untuk bergerak melawan musuh-musuh dan mengambil alih kekuasaan. Kekuatan barat mendukung kudeta tentara, mendonasikan uang dan senjata serta memberi sinyal persetujuan emreka atas pembantaian tersebut. Robert J. Martens, dari tahun 1963-1966 merupakan penasehat politik Kedutaan Amerika Serikat di jakarta, mengakui menyerahkan daftar nama 5000 orang kiri Indonesia pada tentara, praktis menandatangani hukuman mati mereka. Martens kemudian dilaporkan menyatakan; ‘(tindakan) itu benar-benar merupakan bantuan besar buat tentara… Mereka mungkin membunuh banyak orang, dan saya mungkin bermandikan darah kedua tangan saya, namun itu semua tak begitu buruk. Ada masa-masa dimana anda harus menyerang dengan keras pada momen yang menentukan’. [3]

Sejarah kini
Sejarah ini hanya singkat disinggung dalam The Act of Killing. Karena film ini utamanya bukanlah mengenai masa setengah abad lalu, melainkan mengenai masa kini, terus berkuasanya para pelaku kejahatan ‘1965’ dan bentuk masyarakat yang mereka ciptakan.

Film ini mengikuti para anggota dari satu kelompok milisi yang menjadi bagian dari koalisi kejahatan, Pemuda Pancasila. Dalam satu adegan yang sangat menganggu, sekelompok mantan anggota milisi mengenang masa-masa kejayaan mereka dikala muda di era enampuluhan, ketika mereka memutuskan nilai dari hidup manusia, ketika mereka putuskan siapa yang akan hidup dan siapa yang harus mati. Seorang pria tertawa mengenang kenikmatan memperkosa gadis remaja. Pria-pria lainnya setuju dengan bersemangat…

Film tersebut berfokus pada tiga anggota Pemuda Pancasila. Satu diantara mereka, Herman, diikuti ketika peruntungannya tidak sukses untuk masuk dunia politik. Motivasinya adalah kemungkinan melakukan kecurangan dan korupsi yang lazim dalam pekerjaan itu. Ia tampak menakut-nakuti para pemilik bisnis kecil, para anggota minoritas etnis Cina yang didiskriminasi, bersama para pengawal Pemuda Pancasilanya. Ia menjelaskan dengan nikmat bagaimana ia kelak akan memperkaya dirinya jika ia terpilih. Ia mengaku telah membunuh belasan orang di tahun 1965 dan setelahnya yang menunjukkan sama sekali tidak ada penyesalan. Mungkin saja ia sedemikian bodohnya untuk menyadari begitu besar kejahatannya

Haji Anif berbeda. Dari ketiga pembunuh yang dipotret, dialah yang paling kaya. Ia tampak jelas berhasil membangun kehidupannya dan menjadi seorang bapak keluarga (pater familia) kaya yang membawa keluarganya belanja di mal-mal mewah Jakarta. Ia memiliki hubungan baik dengan banyak politisi berkausa—karena, bukan meskipun, ia seorang pembunuh. Lagi pula ia dianggap menjadi salah seorang “pahlawan” yang ‘menyelamatkan Indonesia’. Ia juga tidak merasa meyesal dan menjelaskan alasannya saat ia menghubungkan bahwa moralitas dan kejahatan itu relatif. Haji Anif menjelaskan, ketika George W. Bush masih jadi presiden, ‘Guantanamo’ dilegalkan: lalu mengapa dibiarkannya ‘1965’ menjadi kurang bergantung pada kemungkinan politik? ‘Apa yang kau maksud, ‘kejahatan terhadap kemanusiaan?” Para pemenang sejarahlah yang memutuskan siapa yang bersalah dan siapa yang tidak, apa yang merupakan kejahatan dan apa yang tidak. Dan karena Haji Anif adalah pemenang, maka ia tak takut apapun.

‘Bintang’ film ini adalah Anwar Congo. Seperti temannya, ia adalah seorang penjahat kecil sebelum 1965 namun menjadi ‘pahlawan’ lokal ketika menjadi anggota Pemuda Pancasila, menyiksa dan membunuh belasan orang. Anwar yang bangga pada dirinya dengan antusias setuju oleh saran Oppenheimer untuk membuat film tentang pengalamannya di tahun 1965. Film ini bukanlah dokumentari faktual (apakah Anwar dan teman-temannya tahu soal itu?) namun suatu kerja fiksi yang memotret pengalaman dan perasaan mereka. Sama halnya dengan Anwar yang terinspirasi oleh film Hollywood dalam teknik-teknik pembunuhannya, film yang diinginkannya adalah film yang diinspirasi oleh Hollywood. Adegan-adegan lain menunjukkan ia bermain jadi koboi, mafia… Ketika proses membuat film ini semakin maju dan Anwar mengingat tindakan yang ia lakukan, perasaan tentang apa yang terlah terjadi tampak memukulnya. Setelah menonton adegannya sendiri, ia tercenung apakah mungkin ia telah berbuat dosa.

Mitos
Propaganda anti komunis rezim ‘Orde baru’ setelah 1965 tampak kejam, kontradiktif, bahkan kadang kontraproduktif. Jika keberadaan PKI memang begitu rupa menjadi ancaman bagi bangsa seperti klaim propaganda Orde Baru, mengapa sama sekali tidak imbang dengan tentara, yang dianggap pahlawan pembela Indonesia? Dan apa yang membuat sindiran penguasa baru bahwa Sukarno adalah seorang simpatisan gerakan yang sama yang mencoba menyingkirkannya? Ahli Indonesia, Max Lane, menjelaskan gaya propaganda Orde baru dengan membandingkannya pada diktator anti komunis lainnya: sebagian besar diktator mengklaim bahwa Komunis itu jahat karena mereka hendak mengambil hak milik orang atau mereka akan memberi penggambaran yang distorsif serupa terkait tujuan Komunis. Dalam propaganda Orde baru, Komunis dituduh melakukan tindakan jahat karena mereka memang jahat, itu saja. Ketidakjelasan secara menyeluruh terkait tujuan politik PKI adalah bagian dari depolitisasi umum masyarakat yang merupakan tujuan Orde baru. Tak seperti diktator kanan lainnya, Orde baru tidak bertujuan memobilisasi populasi untuk ideologinya namun mengembalikan mereka pada menjadi “massa-mengambang” yang a politis dan apatis.

Kadang, propaganda Orde baru mengabaikan semua korban kecuali mereka yang dibunuh oleh G30S. Selama berdekade-dekade, setiap tahun televisi Indonesia mempertontonkan film-propaganda Pengkhianatan G30S/PKI, sebuah film yang memotret komunis sebagai hewan-hewan haus darah yang ketika menontonnya membuat Anwar menghilangkan perasaan bersalahnya. Komentar singkat dalam The Act of Killing menunjukkan tipe manipulasi sejarah yang lugas: salah seorang anggota kru terkejut mendengar bahwa PKI pernah menjadi partai legal… Mengomentari efek dari Pengkhianatan G30S/PKI, akademisi Ariel Heryanto mengatakan bagaimana di negeri-negeri lain biasanya anak-anak senang memerankan polisi dan perampok, di Indonesia anak-anak akan bermain ‘komunis dan tentara’—namun anak-anak khususnya suka memainkan peran komunis yang lebih kejam dan kuat, tak seperti tentara yang lembut yang lebih banyak jadi korban!

Pusat propaganda Orde baru lainnya tampak sama kontraproduktifnya. Di dekat momumen bagi para perwira korban pembunuhan G30S, terdapat Museum Pengkhianatan PKI (Komunis), ‘museum pengkhianatan komunis’, dengan diorama yang seakan-akan memotret pemberontakan dan percobaan kudeta PKI. Tidak ada penjelasan motivasi dari para Komunis, museum bahkan tidak berupaya memberi naratif yang meyakinkan, sebagai buah manfaat dari deploitisasi komplit Orde baru. Pimpinan kiri Amir Sjarifuddin Harahap contohnya merupakan (tentu saja) salah seorang penjahat, namun sulit membayangkan pencipta museum tersebut benar-benar berfikir bahwa, dengan menghilangkan fakta, para pengunjung akan lupa bahwa Amir adalah salah seorang pemimpin perjuangan kemerdekaan dan bahkan perdana menteri Indonesia. Karena tentara tentu saja tidak mengakui mengeksekusi tahanan seperti Sjarifuddin, kaum kiri seperti dia semuanya dibuat seakan-akan telah menantang dan menolak menyerah, bertarung sampai mati. Pemikiran PKI akan tetap menjadi misteri bagi para pengunjung Museum jika mereka tidak memiliki informasi lainnya, namun mereka akan mendapatkan kesan PKI adalah partai dengan dukungan besar, sanggup hampir terus menerus melancarkan insureksi dan Komunis tampak sangat berbedikasi, sanggup bekerja untuk tujuanya.

Yang lain lagi, bacaan orientalis terhadap ‘1965’, mengakui bahwa terdapat pertumpahan darah yang masif namun masih selaras dengan mitos Orde Baru bahwa tentara adalah penyelamat nasional. Menurut versi ini, PKI telah melanggar tabu kebudayaan dan populasi Indonesia menjadi “amuk” dalam skala luas. Intepretasi ini membuat tentara menunjukkan dirinya sebagai pembela perdamaian dan ketertiban dan cocok dengan sejarah “resmi” 1965 yang ditulis tentara.

Namun pembunuhan massal dalam skala 1965 juga meninggalkan jutaan anggota keluarga, kawan, dan orang-orang yang dicintai dibunuh. Setiap hari, mereka hidup dengan lagi-lagi versi memori 1965 yang sangat berbeda. Realitas hidup diantara para pembunuh yang seringkali menjadi tambah kaya dan berkausa terus menerus mengingatkan mereka apa yang sanggup dilakukan oleh elit berkuasa. Impunitas yang terlembagakan adalah satu bentuk teror negara, terus menerus mengingatkan semua orang, yang bahkan berpikir untuk melawan apa yang sanggup dilakukan penguasa, seberapa jauh mereka akan bergerak untuk melindungi keistimewaan mereka.

Kontradiksi dan gap dalam mitos resmi membuatnya lebih serbaguna, sanggup menunjukkan berbagai versi berbeda 1965 pada pemirsa yang berbeda. Dan 15 tahun setelah akhir rezim Soeharto, mitos keserbagunaan ini masih berkuasa. Baru-baru ini, Menkopolkam Djoko Suyanto menolak penemukan KOMNAS HAM bahwa 1965 merupakan suatu pelanggaran HAM berat. Sama halnya dengan renungan Haji Anif tentang relativitas Hak Azasi Manusia, Djiko mengatakan; ‘Jelaskan apa itu pelanggaran HAM berat! Terhadap siapa? Bagaimana jika yang terjadi adalah sebaliknya?’ Dan; ‘Negeri ini tidak akan menjadi seperti sekarang ini jika itu tidak terjadi.’ [4] Singkatnya, ia menunjukkan keserbagunaan mitos Orde Baru, menyiratkan bahwa tidak ada pelanggaran HAM, bahwa Djoko menyiratkan kejadian itu adlaah ‘kita atau mereka’, dan pembunuhan itu dibutuhkan dan dibenarkan. Tidak koheren ya, namun kuat.

The Act of Killing meledakkan propaganda pasca 1965 rejim ‘Orde Baru’ dengan mengaitkan pandangan para pelaku kejahatan itu sendiri. Cerita Herman, Anif dan Anwar membuat kontradiksi dalam mitos resmi mengenai 1965 tak terhindarkan dan membuat peran penting teror dalam memelihara mitos ini muncul eksplisit. Mendengarnya sendiri dari mulut mereka, tak mungkin mengabaikan kebrutalan yang mereka ingat atau mengabaikan kesaksian karena bermotivasi politik. Jika bahkan para anggota milisi menjelaskan bahwa mereka, dan bukan PKI, adalah monster yang sebenarnya, lalu apa yang dapat membenarkan tindakan mereka? Menyelamatkan bangsa? Dengan memerkosa anak-anak?

Rasa takut
Disamping cerita populer Indonesia sebagai negeri yang sukses berdemokrasi dan membangun, rasa takut adalah elemen yang terus bertahan dalam masyarakat Indonesia. Sepuluh tahun lalu, ketika hendak membuat film dokumenter dengan serikat buruh, Joshua Oppenheimer bertemu kontak dengan rasa takut ini. Orang-orang yang ia temui dan ajak bicara tidak berani kritis pada penguasa karena mereka tahu apa yang akan terjadi. Pertama, Oppenheimer mencoba membuat film yang akan menghubungkan cerita orang-orang yang selamat 1965 namun ia mereka masih takut bicara. Para pelaku kejahatan tidak memiliki rasa takut ini dan setelah bicara dengan banyak diantara mereka, Oppenjeimer memutuskan menstrukturkan filmnya disekitar Herman, Anif dan Anwar.

The Act of Killing menunjukkan kekuatan para pelaku kejahatan 1965, kepercayaan diri mereka bahwa tak seorangpun akan membuat mereka bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan. Hal itu memberi perspektif yang langka pada sebuah episode kekerasan massal dari sudut pandang pelaku kejahatan. Orang-orang yang selamat dari genosida membagi dengan acak anggota-anggota institusi yang mengorganisasikan pembunuhan ke dalam tiga kelompok. Sejumlah kecil yang menolak terlibat pembunuhan dan bagian besar kelompok yang mengikuti instruksi dari atas. Mitläufer yang melakukan apa yang disuruh. Dan ada sekelompok kecil lainnya yang menikmati kekuatan dan kebebasan mereka untuk melakukan apapun sesuka mereka.

The Act of Killing menunjukkan sekilas dunia mental orang-orang di kategori ketiga. Sebgian besar kesaksian yang kita miliki dari sisi pelaku bersifat defensif, mencoba meminimalisir pembunuhan dan/atau peran mereka di dalamnya. Namun gĂ©nocidaires Indonesia tahu mereka telah memenangkan suatu kemenangan yang tak dapat diubah, sehingga mereka tidka perlu menyangkal atau meremehkan tindakan mereka, mereka bebas mengaitkan kesenangan yang mereka rasakan ketika mereka memerkosa, menyiksa, dan membunuh. Kenyataannya, terdapat alasan untuk meragukan angka-angka orang yang mereka bunuh, kadang rasanya mereka bangga. The Act of Killing menunjukkan para pria yang rasa bangganya dapat berwujud dalam kekejamannya dan sangat mungkin membesar-besarkan jumlah korbannya. Mesti ditekankan bahwa para pelaku kejahatan ini adalah laki-laki, kerap kali memamerkan misogyny yang ekstrem—jelas merupakan satu cara yang kuat untuk mendehumanisasi para korban mereka.

Apa yang tampak jelas selama berpuluh tahun bagi orang-orang yang selamat 1965, bahwa kejahatan 1965 bukanlah peristiwa “spontan” atau “ekses”, menjadi sebuah kesimpulan tak terhindarkan bagi para penonton. Film menunjukkan 1965 menjadi suatu adegan teror politik yang dahsyat. Hasilnya adalah film yang benar-benar pengalaman yang mengejutkan, sesekali menimbulkan rasa jijik. The Act of Killing sulit ditonton, sebagaimana sulitnya usaha untuk benar-benar menangani kejahatan dengan magnitude sebesar 1965—dan memang seharusnya demikian. Film ini adalah tontonan penting bagi semua orang yang mencoba mengerti kejahatan massal dan masyarakat Indonesia modern. Banyak kolaborator film dari Indonesia mesti tetap menggunakan anonymous (tanpa nama) dan di dalam negeri, film ini hanya dapat ditonton dalam kondisi semi tertutup. Respon terkejut, marah, dan sedih dari banyak kaum muda Indonesi ayang menyaksikannya memberi harapan rapuh bahwa para pembunuh tidak akan selamanya menjadi pemenang.***

Catatan Kaki
[1] The term is from Christian Gerlach, Extremely Violent Societies (Cambridge, 2010).
[2] John Roosa, Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’Etat in Indonesia ((London 2006).
[3] Kathy Kadane, ’U.S. Accused Of Role In Massacre’, Chicago Tribune (May 23, 1990). Online.
[4] Margareth S. Aritonang , ’1965 mass killings justified: Minister’ Jakarta Post (October 01, 2012) Online.

Artikel ini diambil dari International Viewpoint dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Zely Ariane.

*Alex de Jong adalah editor majalah Grenzeloos, jurnal milik Socialist Alternative Politic (SAP), seksi Fourth Internasional di Belanda. Ia telah menyelesaikan Master pada studi Genosida di Universitas Amsterdam dengan Master Tesis “Hunting Specter: Political History on Purges of Communist Party of the Philippines.”

Tulisannya yang lain terkait 1965 dapat dibaca di sini.

Unduh film The Act of Killing (dilluncurkan gratis sejak 30/9/2013) di sini.

oleh Alex de Jong

About Unknown

Sekber Buruh adalah persatuan perjuangan buruh untuk melawan tiap bentuk penindasan dengan program-program kerakyatan yang anti penindasan dan penghisapan.
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments

Ayo Berkomentar